Menemukan Tuhan di Monash

Masalah relasi gender telah menjadi perhatian Siti Ruhaini Dzuhayatin sedari kecil di pesantren. Menurutnya, sejak dulu, Islam sudah menyosialisasikan bahwa Allah tidak memiliki jenis kelamin. “Itu yang selalu disosialisasikan tentang konsep Tuhan, meski beragam konotasi tentang Tuhan masih beraroma maskulin,” katanya. Ketika masuk pesantren, Ruhaini belajar bahasa Arab,bahasa yang memiliki kaidah muannas atau feminim dan muzakkar atau maskulin.

Di dalam Al-Qur’an, misbah atau predikat untuk menjelaskan Allah kebanyakan bersifat muzakkar. “Padahal, sejak kecil sudah diajarkan bahwa Allah tidak memiliki kecenderungan gender,” katanya. Pada usia 15 tahun, dia mulai memikirkan bagaimana cara memahami bahwa Tuhan bukan laki-laki seperti apa yang banyak disebutkan dalamAl-Qur’an. Ruhaini akhirnya sampai kepada kesimpulan bahwa Bahasa Arab tidak bisa memuaskan rasa ingin tahunya tentang Tuhan. Hingga akhirnya dia memutuskan untuk mencari jawabannya di luar pesantren. “Mungkin di IAIN saya bisa mendapatkan jawabannya,” katanya.

Ketika di IAIN, dia juga tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan. Begitu juga ketika mendiskusikan hal tersebut dengan kawan-kawan organisasinya dulu. Tentu saja, Ruhaini tetap percaya kepada Allah dan berislam secara benar meski merasa ada yang kurang. “Ya sudah, kita tetap percaya saja sama Tuhan,” kata dia. Lalu saat dia melanjutkan studi magister di Monash University, Australia, ada salah satu dosen yang membahas soal gender, maka pertanyaan itu pun kembali lagi. Dia ingat mata kuliah itu adalah cultural inequality atau ketidaksetaraan budaya. Di situ disebutkan bahwa ketidaksetaraan budaya bisa disebabkan banyak hal, salah satunya bahasa. Saat itu yang digunakan sebagai contoh adalah bahasa Inggris dan Prancis. Ada asosiasi-asosiasi yang terkait dengan kekuasaan itu bersifat maskulin. “Dari situ mulai muncul lagi keresahan saya. Bagaimana kira-kira dengan bahasa Arab?” katanya. Menurut Ruhaini, bahasa Arab itu cukup dekat dengan bahasa Prancis karena mereka sama-sama Mediterania, yang ternyata tata bahasanya agak mirip. Artinya, bahasa Arab merupakan bahasa bergender. “Kalau begitu, ini pengaruh dari struktur bahasa.

Kenapa Tuhan diberikan muzakkar dan muannas? Ya, karena struktur bahasa,” katanya. Tapi tetap hal ini belum memuaskan Ruhaini. Masih ada pertanyaan substansial, seperti pemilihan sifat muannas atau muzakkar. “Karena itu arbitrer. Itu bisa muannas, bisa muzakkar. Dalam bahasa Arab ada juga yang terkadang tidak paralel dengan struktur bahasa,” katanya. Misalnya soal syamsyiah yang berarti matahari dalam bahasa Arab dikategorikan menjadi feminim. Namun qamariyah yang berarti rembulan justru diartikan maskulin. Ini berbeda dengan struktur bahasa yang lain.

Selengkapnya dihttps://drive.google.com/file/d/1BTqYX7PuElXhswXxFVsLf1lIl728eIAY/view?usp=sharing