3 Pemuka Agama termasuk Direktur KIJ UIN Sunan Kalijaga Soroti Politik Identitas-Polarisasi di Indonesia

Isu politik identitas di Indonesia masih disorot oleh publik jelang Pemilu 2024. Presiden Joko “Jokowi” Widodo bahkan pada Agustus lalu sempat menyinggung politik identitas dalam pidatonya karena khawatir akan memecah belah bangsa jelang Pemilu 2024.

“Saya ingatkan, jangan ada lagi politik identitas, jangan ada lagi politisasi agama, jangan ada lagi polarisasi sosial. Demokrasi kita harus semakin dewasa, konsolidasi nasional harus diperkuat,” kata Jokowi di Gedung MPR, Jakarta, pada Agustus 2022.

Sejumlah pemuka agama di Indonesia menyorot politik identitas yang dikhawatirkan bisa kembali memunculkan polarisasi jelang Pemilu 2024. Religiusitas dianggap masih menjadi ‘bahan’ menarik untuk dipolitisasi.

1. Anggapan persaingan politik untuk hidup dan mati

Ketua Persatuan Umat Buddha Indonesia (Permabudhi) Philips Kuncoro Wijaya menilai masih ada sejumlah kelompok bahwa persaingan politik adalah masalah hidup dan mati. Fanatisme pada satu tokoh publik yang lekat dengan nuansa religiusitas sering kali menyulut aksi-aksi fanatisme di masyarakat.

“Saya kira persaingan politik itu ada yang kurang bertetika dan ada yang beretika. Politik dalam persaingannya seringkali hidup dan mati, itu seringnya bukan main,” kata Philips di IDN Times, Kamis (20/10/2022).

Menurut Philips, agama adalah hal yang mudah dipakai untuk kampanye politik sehingga seringkali digunakan. Beberapa kelompok menggunakan religiusitas untuk menggaet lebih banyak suara meski menimbulkan dampak negatif yang besar.

Philips menilai, perlu ada perbaikan terhadap kelompok yang lebih mementingkan kemenangan daripada kedamaian. Salah satunya dengan menyadarkan publik untuk menjunjung tinggi demokrasi dan keberagaman.

“Ada orang yang mempertimbangkan hal yang lebih liturgi, ada yang orang tidak peduli bagaimana kerusakannya yang penting menang, kita coba menyadarkan orang yang mengorbankan sesuatu hanya untuk kelompoknya itu,” ujar Philips. “Ini bukan soal berpihak sana-sini tapi kita melihat segi moralitas dan sebagainya. Sebagai media bisa menyaring pemberitaan.”.

2. Politik tidak merepresentasikan agama

Tenaga Ahli Staf Utama KSP Siti Ruhaini Dzuhayatin mengatakan sering kali publik merepresentasikan agama dengan politik. Padahal, agama tidak sepenuhnya politik, begitu juga politik bukan merepresentasikan agama tertentu.

Perempuan yang akrab Eni ini menilai perlu ada pemahaman di publik bahwa Islam dan demokrasi bisa berjalan beriringan di Indonesia tanpa harus memilih salah satu di antaranya.

“Kita butuh Islam sebagai agama, tetapi kita juga butuh demokrasi karena sistem ini bisa menyelamatkan atau mencegah neraka itu terjadi di dunia. Jadi menjawabnya tidak hitam putih ‘pilih demokrasi atau Islam’,” kata Eni. “Di 2024 nanti marilah kita sama-sama mendudukkan di mana agama dan di mana politik agar tidak dipahami bahwa politik itu tidak merepresentasikan kepentingan agama.”

3. Optimisme identitas bisa bawa kebajikan untuk rakyat terpinggir

Ketua Umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) Gomar Gultom mengaku selama beberapa bulan terakhir, dirinya seolah-olah ‘dicekoki’ oleh berita politisasi agama jelang 2024. Dia juga menyinggung pidato Jokowi yang meminta politik identitas disudahi.

“Saya khawatir, tapi jangan terlalu dihindari, politik identitas itu akan terjadi, tapi politik identitas seperti apa? Politik identitas itu kan awalnya dipakai untuk memperjuangkan kelompok terpinggirkan,” kata Gomar.

Menurutnya, hampir pasti politik identitas bakal terjadi di Indonesia. Namun dia berharap politik identitas yang terjadi bukanlah politik yang memecah belah dan menimbulkan kerusakan.

Gomar menilai politik identitas sejatinya digunakan untuk memperjuangkan hak-hak rakyat terpinggir, bukan untuk kepentingan segelintir orang. Jika politik identitas demikian, maka iklim demokrasi akan berjalan secara sehat di Indonesia.

“Menurut saya lebih baik ke depan mengembalikan politik identitas ini untuk memperjuangkan nilai universal yang dipakai masyarakat. Kalau itu bisa terjadi, menurut saya politik identitas sah-sah saja berkembang. Agama itu kan paling mudah dipakai, dan bagaimana dia dipakai untuk menetang ketidakadilan dakemiskinan,” kata Gomar.

Source:Saat 3 Pemuka Agama Sorot Politik Identitas dan Polarisasi (idntimes.com)