Indonesia Dorong Toleransi Global Melalui Jakarta Plurilateral Dialogue 2023

Perilaku diskriminasi dan intoleransi berbasis agama dan kepercayaan kerap terjadi di berbagai belahan dunia. Pemerintah Indonesia menyatakan perlunya kesepakatan untuk mengarusutamakan budayatoleransiuntuk menanggulangi ancaman diskriminasi dan kekerasan berbasis agama atau kepercayaan.

Sebagai wujud komitmen kuat untuk mengimplementasikan budaya toleransi, pemerintah Indonesia akan menggelar forum internasional bertajuk Jakarta Plurilateral Dialogue (JPD) 2023 di Hotel Borobudur pada 29-31 Agustus 2023. Forum tersebut diselenggarakan oleh Kantor Staf Presiden,Kementerian Agama, dan Kementerian Luar Negeri.

Moderasi beragama dan penanggulangan praktik intoleransi menjadi pesan utama yang akan disampaikan dalam Jakarta Plurilateral Dialogue 2023. ”Moderasi beragama dan penanggulangan praktik intoleransi harus terus didorong,” ujar Deputi V Kepala Staf Kepresidenan Jaleswari Pramodhawardani dalam keterangan tertulis, Kamis (24/8/2023).

Pembahasan dalam forum tersebut akan didesain inklusif dengan menampung berbagai pandangan dari organisasi keagamaan, masyarakat sipil, mitra pembangunan, dan pemangku kepentingan lainnya, termasuk pemerintah.

Melalui Jakarta Plurilateral Dialogue 2023 tersebut Indonesia berharap dapat berkontribusi pada upaya global memerangi intoleransi beragama, kekerasan, dan diskriminasi. ”JPD 2023 adalah forum strategis untuk menunjukkan komitmen Indonesia,” ujar Direktur Jenderal Informasi dan Diplomasi Publik Kementerian Luar Negeri Teuku Faizasyah

Menurut Teuku, muatan forum ini sejalan dengan pencalonan Indonesia menjadi anggota Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 2024-2026. ”Indonesia akan menunjukkan berbagai inisiatif nasional dalam moderasi beragama dan penguatan budaya toleransi untuk dapat menjadilesson learnedbagi negara-negara sahabat,” ujar Teuku.

Jakarta Plurilateral Dialogue 2023 akan meliputi lima sesi dialog yang mengeksplorasi praktik terbaik dan pembelajaran dari berbagai pemangku kepentingan di seluruh dunia dalam memperkuat implementasi Resolusi 16/18 UNHCR. Resolusi PBB ini merupakan resolusi untuk memerangi intoleransi, stereotipe negatif, stigmatisasi, diskriminasi, hasutan terhadap kekerasan, dan kekerasan terhadap orang berdasarkan agama atau kepercayaan.

Wakil Presiden Dewan HAM PBB Muhammadou MO Kah serta para duta besar negara anggota dijadwalkan akan hadir dalam perhelatan ini. Forum tersebut diharapkan dapat menemukan kemungkinan kolaborasi dan rekomendasi dalam memerangi intoleransi di masa mendatang.

Jaleswari juga kembali mengingatkan pesan Presiden Joko Widodo dalam pidato kenegaraan yang pada intinya mengecam intoleransi secara global. Hal ini juga termasuk upaya mempromosikan penghilangan segala bentuk praktik intoleransi yang sepatutnya menjadi perhatian berbagai pihak.

Dalam pidato kenegaraan di Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia dan Sidang Bersama Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia dalam Rangka Hari Ulang Tahun Ke-78 RI, Presiden Jokowi menekankan pentingnya harmoni dalamkeberagaman.

”Di tengah kondisi dunia yang bergolak akibat perbedaan, Indonesia dengan Pancasila-nya, dengan harmoni keberagamannya, dengan prinsip demokrasinya, mampu menghadirkan ruang dialog, mampu menjadi titik temu, dan menjembatani perbedaan-perbedaan yang ada,” ujar Presiden Jokowi.

Setiap negara perlu memberikan perhatian serius terhadap perilaku diskriminasi dan intoleransi berbasis agama dan kepercayaan yang kerap terjadi di berbagai belahan dunia. Jika dibiarkan, sikap tersebut akan menghambat kemajuan sebuah negara, bahkan dapat berakhir pada perpecahan.

Indonesia pun mendorong setiap negara di dunia memandang United Nations Human Rights Council (UNHRC) Resolution 16/18 sebagai sebuah kebutuhan. Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas berpendapat bahwa implementasi Resolusi 16/18 UNHCR tersebut dapat mengatasi kegentingan kemanusiaan akibat diskriminasi berbasis agama dan kepercayaan di negara mana pun.

”Melalui spirit Resolusi 16/18 dalam mengatasi intoleransi dan diskriminasi berdasarkan agama, setiap warga negara secara bersama-sama mampu belajar dan memahami bahwa kebencian dan diskriminasi bukanlah bagian dari adab manusia. Dan, ia dapat dikalahkan,” ucap Yaqut.